Duka yang hampir abadi.
Ah… ya…
Duka itu hampir jadi abadi, dalam abad yang terluka.
Menghitung-hitung luka.
Masih belum hilang desing peluru,
Dan Siti menangis dalam kelam hari.
Mayat menganga berkata:
“Abadikah duka dalam saku celana entah berwarna apa?
Hitam awan sehitam duka.
Hitam yang tak pekat sebenarnya,
Tapi duka terlanjur ada dalam abad yang tak tahu
Waktu semakin singkat dengan sijingkat yang dekat.
Ya……
Sajadah berterbang menuju awal tahu yang kelam.
Mengibas-kibaskan hitungan dosa yang dibuat, tapi
Orang-orang tak pernah hitung itu pahala yang hanyut.
Belum hilang duka dalam senjata dan luka-luka.
Malam sudah dating kembali.
Derap tentara berpacu berpacu dengan nurani yang tetes
Dalam darah yang tumpah oleh peluru bersarang dijantung.
Dan karatnya mengupas tuntas keresahan akan sebentuk kematian.
Benar-benar belum selesai sebentuk duka,
Awal tahun yang lunglai.
Sekali ombak hempas,
Tak tahu lagi kita, mana bahtera Nuh atau kapal para nelayan.
Karena gunung tak lagi jadi gunung.
Karena disana aku lihat kapal-kapal bersandar.
Duka baru akhiri sebuah duka.
Duka lama terkubur, lembar duka berikutnya membuka.
Disana kematian menyakitkan, tapi tak ada pilihan: A, B, C, D
Atau semua pilihan salah dan benar.
Yang ada kematian mengintai dalam bentuk apa saja.
Masih terngiang Siti menangis dalam simbahdarah sang lelaki kurus,
Siti yang lain memeluk erat tubuh lelaki tua,
Dan satu Siti lagi nyalang melihat tubuh kecil yang beku,
Siti yang lain sudah tak berairmata meremas tanah kelu yang entah
Siapa didalam liangnya.
Akhir tahun yang kusam menghanyut kalender berwarna darah.
Tak llagi Siti menangis.
Karena duka menghapus airmatanya jadi darah.
Siti yang tersisa isaknya tertahan dalam kantong mayat.
Tak kenal tubuh yang berserak didepan masjid yang retak.
Belum habis duka peluru, duka laut yang murka,
Lalu orang-orang berebut mengolahnya jadi medali gengsi.
Bahkan pencuri jadi pahlawan sejati dalam duka yang hampir saja abadi.
Solo,
akhir-awal tahun yang hilang
ali Shadlle.
No comments:
Post a Comment