Kucari titik tanah kelahiranku pada peta buta pelaut tua. Mengharap cahaya yang turun dari langit menerangi kelam yang tercipta tanpa sepengetahuan ku. Yang menjelma sebagai asap kabut menelikung mata, sesiapa yang meliriknya.
Tak kukenali lagi tanah kelahiran ku.
Dulu pohon membumbung tinggi menggapai langit. Burung bercengkrama dengan awan. Waktu seumpama batu tergerus air titik dari akar akar yang menjuntai. Hutan berbuah manis. Sungai mendaras zikir sepanjang hayat ikan-ikan.
Perahu-perahu hilir mudik mendulang angan, menjaring penghidupan. Dipantai seluas mimpi imajinasi anak-anak. Bermain dengan ombak bercengkrama dengan hembusan angin yang mehantar tinggi layangan. Disela pepohonan, dari padang pasir pesisir sampai perbukitan yang menyimpan teka-teki masa depan.
Menghilanglah sebaris garis pasir tanah kelahiranku. Ia memaknai hilang seluas harapan. Ombak datang begitu tepat tanpa harus menunggu siasat.
Tanah pecah menjelma debu memenuhi udara yang terhirup paru-paru.
Batu nguap menjelma asap mengisi udara yang tersedak.
Titik hitam it uterus membesar menutupi peta tanah kelahiranku. Anak-anak berlari dalam kabut asap memancing luka diantara debu tanah pecah. Bayi lahir diantara cerobong asap yang semakin racap. Diantaranya kucari aku. Yang berlari. Mengjar waktu menugali bibit harap dan memunguti mimpi.
Batu nisan yang tumbuh diantara jalur pipa-pipa yang semakin rumit. Mengabarkan kematian yang semakin genit. Ada kabar kelahiran, bayi tanpa anus dan bertulang dada. Jantung berada diluar dada dan gizi yang terkontaminasi pestisida. Ada linang air mata yang tertahan keberadaan yang tak pernah dipahami bergulir diatas tanah ini.
Menjelmalah kewaspadaan yang tak dimengerti, coba untuk difahami. Lidah dipaksa mencicipi yang sebenarnya ditolak perut dan dimuntahkan kembali. Kalau tak mati. Dipaksa alih profesi kemudian diusir dari ladang mimpi yang telah lama dibangun. Tanpa kompromi tanpa sempat bela dan berbenah diri.
Segaris tipis hilang pandangan dari peta tanah kelahiranku, tak kulihat lagi aku disitu, tak kutemui tanda tembuni kelahiranku. Tak kutemui lagi rumah istirahat panjang ku, kuburku.
Peta tanah kelahiranku, peta buta pelaut tua. Kini ia benar benar tak bermata, tanpa kompas penunjuk arah. Angin yang bertiup dari segala arah dan laut yang marah. Cepat aku menutupnya. Yang kulihat disana hanya duka. Duka.duka.
Samarinda, 3 juni 2008
No comments:
Post a Comment