PERGI
Pagi, segalanya telah siap. Burung tak bernyanyi lagi. Apakah ini reaksi dari sahabatku atas kepergianku. Aku telah menjadi terbiasa. entah sejak kapan mereka berhenti untuk membangunkan orang-orang di kampung ini setiap pagi. Yang jelas telah lama aku lupa suara kacer dan kutilang dipohonan. Sampai Haji Darmawi, memliharanya, supaya ia tak telat untuk bangun pagi dan pergi memberikan pelajaran disekolah.
Mereka pergi, entah kemana? tiap pagi memang aku tak akan telat bangun pagi. Karena bising suara pabrik. Tapi itu menyakitkan. Jam lima pagi pabrik mulai beroprasi, jam sepuluh malam baru berhenti. Tak ada lagi ketenangan. Semua tergesa, seperti mesin pabrik. Yang ada hanya penyakit ISPA dan penyakit kulit. semua menjadi kekacauan sangat penting. Tak ada lagi buah hutan, yang pada setiap musim anak-anak tak perlu ragu untuk memetik. Cempedak, paken, lai dan buah terpaling tak enakpun harus mendapatkannya disupermarket. Melihat monyetpun bayar, sepuluhribu rupiah. Segalanya jadi perhitungan rupiah..
Segalanya telah siap. Ya, segalanya. Aku lihat kembali kedalam tas punggungku biru yang kumal. Sejumlah rupiah, tiket penerbangan, ijazah dan surat-menyurat untuk kuliah dan beberapa lembar pakaian. Ibuku menangis. Abahku sesekali menghisap dalam rokoknya, sambil sesekali menasehatiku. Tetangga berkerumun dihalaman sekedar mengantar keberangkatanku. Selamatan kecil dimulai, dengan harapan keselamatanku. Selamat tinggal. Aku pergi.( januari 2006)
No comments:
Post a Comment